Minggu, 24 Mei 2009

Dampak Game Virtual

Jika Al Qur'an mengingatkan kita untuk menjaga diri dan seluruh anggota keluarga kita dari api neraka, sangatlah beralasan. Karena atmosfer bumi di mana kita hidup saat ini, kian sesak dengan komplotan perusak yang akan menjerumuskan kita dan anak-anak kita ke dalam api neraka.
Perang dahsyat yang kini tengah mereka kobarkan bukan dalam bentuk perang senjata belaka. Yang lebih berbahaya lagi adalah, mereka melakukan penyerbuan secara intens alam pikiran anak-anak kita. Tujuan komplotan perusak bumi itu adalah, untuk menghancurkan aqidah, pemikiran, dan cita-cita luhur anak-anak kita yang merupakan calon generasi masa depan.

Komplotan itu telah menyebarkan narkoba secara massive, menjual syair lagu-lagu yang melecehkan eksistensi Tuhan, memproduksi film-film yang mengeksploitasi praktek percabulan, hingga menumbuhsuburkan game-game simulasi yang mampu membuai alam pikiran anak-anak ke dunia awang-awang. Yang terakhir ini kita kelompokkan sebagai permainan "Game Virtual".

"Hampir di semua sudut, kini ditemukan rental game, yang tidak saja digemari anak-anak, tapi juga orang dewasa," komentar Dimitri Mahayana, dosen jurusan Teknik Elektro ITB, dalam orasinya bertajuk "Revolusi Digital, Mitos atau Realitas", pada Dies Natalis ke-35 Universitas Yarsi, Senin (29/04).

Kondisi ini menurut Dimitri, perlu disikapi lebih bijaksana oleh para orang tua khususnya. Sang dosen mengingatkan kita untuk mencermati era digitalisasi yang bukan sekadar dampak natural dari perkembangan iptek belaka. "Masuknya aspek digital dalam tiap sendi kehidupan manusia sendiri, harus juga dicermati. Yaitu bagaimana mengantisipasi berkembangnya nilai-nilai laten," ingatnya.

Tentang nilai laten tersebut, Dimitri menjelaskan bahwa seiring dengan booming internet, peradaban dan kehidupan manusia menjadi makin digital, dan semakin mengikuti perkembangan zaman. Berarti, nilai Dimitri, pengetahuan manusia selalu up to date dan memiliki keunggulan kompetitif.

"Hanya dengan sekali klik, semua layanan yang kita butuhkan tersedia. Mulai dari kesehatan, keuangan dan perbankan, sampai kencan pun bisa diatur lewat internet," komentarnya.

"Namun bagaimana dampak cultural shock yang justru tidak disadari kehadirannya," sambung Dimitri. Sebagian besar orang, menurutnya, justru kurang peduli dengan efek samping perkembangan iptek. Digitalisasi, ujar Dimitri, akan selalu diikuti dengan virtualisasi. Artinya, keberadaan realitas nyata akan tergantikan oleh realitas virtual.

Hal itu pula yang oleh Dimitri dinilai, terjadi pada game virtual. Permainan modern yang banyak digemari anak-anak itu telah menggeser keberadaan permainan tradisional.

"Sudah sulit sekarang kita temukan anak-anak main petak umpet atau kucing-kucingan. Mereka lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam main game, meski harus pergi ke rental dan bayar," papar Dimitri tentang perilaku bermain anak-anak modern.

Padahal, ingat dosen ITB itu, game virtual justru tidak mendidik sama sekali. Sejauh ini berbagai game yang tumbuh menjamur di berbagai tempat, hanya melulu menyajikan aspek kekerasan dan erotisme (sensualitas).

Selanjutnya Dimitri mengingatkan lagi, bahwa eksplorasi imajinasi lewat realitas virtual tersebut, dalam kurun waktu tertentu akan memunculkan problem baru di kalangan generasi muda. Yaitu munculnya generasi baru hedonis, pemuja kenikmatan dan kemudahan.

"Bayangkan saja, anak bisa merasakan puasnya membunuh musuh dengan senjata tajam atau bahkan berkencan dengan bintang film seksi terkenal sekalipun. Siapapun yang diinginkannya tinggal diset, semua beres," jelas Dimitri.

Apa yang dikhawatirkan Dimitri, tepat. Sebab hari ini kalangan anak-anak maupun generasi ABG, makin melecehkan norma-norma, sejalan maraknya era teknologi digital. Baik normal sosial, apalagi norma-norma ketuhanan. Iga Mawarni, aktivis Forum Bening, menyebut mereka sebagai generasi instan yang tidak memahami hidup dalam arti sebenarnya.

"Anak itu maunya serba beres, tahu-tahu sudah tersedia. Padahal tidak begitu. Segala sesuatunya berproses," ujar Iga.

Apakah cuma orang dewasa yang bisa melihat film-film keras berdarah-darah dan seks? Jawabannya tidak! Lewat game virtual yang kian mem-booming di pasaran, norma-norma yang memisahkan status dewasa dan anak-anak kian tipis dan akhirnya lenyap. Adegan-adegan privasi dan kekerasan yang hanya "layak" ditonton orang dewasa pun, kini telah dikonsumsi anak-anak. Nilai dan norma dalam abad modern ini kian digerus oleh bacaan, film, tontonan, dan juga game-game itu.

Akhirnya tulisan ini ingin mengingatkan kita semua, untuk berhati-hati menjaga anak-anak dari pengaruh budaya hedonisme yang kian marak tumbuh dalam masyarakat kita. Karena anak-anak kita adalah titipan dan amanah Allah SWT yang harus kita jaga dengan serius. Persis apa yang diingatkan Al Qur'an;

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka, anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap anak-anak mereka. Oleh karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar," (Q.S 4 : 9).

(sulthoni)
sumber : eramuslim.com

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com